Malam itu kami duduk di beranda, bulan pun ada Lalu lintas terasa hingar, deru-deram sebentar-sebentar Memanjang kawat telepon di antara tiang yang merentang Redup temaram dalam garis-garis coretan hitam Dengung karet beca, lewat lubang selokan tua Tiba-tiba di langit membusur titik cahaya Di celah deretan pohon, menyusur cemara hospital Kami sama berdiri. ‘Bulan auronetika-kah kini?’ Benda-angkasa itu meluncur pelahan Dalam busur lengkung di langit barat Lewat atas atap, lewat pucuk cemara hospital Seraya ke bumi ini memberi cahaya sinyal Kami sama terdiam, sama menatap cahaya yang main Sebuah transistor menyanyikan tema jazz Summertime Busur cahaya itu makin melengkung Di atas gedung, menyentuh bayang bangunan Melintas sebuah majelis yang tengah bersidang Yang masih bergumul bagi kebebasan Dan masalah-masalah kelaparan serta kemiskinan Sementara benda-angkasa ini menunjuk ke bulan Dan menjelujuri rimba-belantara teknologi Majelis ini mencoba lagi mengeja kata demokrasi Mulai menuliskan lengkung huruf ‘d’ dari demokrasi itu Di langit pun membusur garis cahaya Menerangi bumi ini, mulanya temaram, lalu makin terang Anak-anak belasan tahun berlarian riang Di atas runtuhan slogan, menginjak potret-potret pemujaan Berkejaran dalam main bandit-dan-lakon Menyusur trotoar, tembok-tembok kota dan jalan raya Menggeledahi gedung-gedung birokrasi dan mengiringi mereka Keluar. Berjalanlah mereka. Kawanan serigala Yang khianat, dan kini dipisahkan dari pimpinannya Sesekali dia meraung pendek. Meratapi langitnya makin senja Meratapi bulan merah, pohon-pohon pinus lama Dan dulu daerah perburuannya. Meraungi betina-betinanya Dan lantai pualam menengadahlah dia ke angkasa Angkasa yang kini, lebih dari masalah “saya terharu” Lebih dari masalah bintang-bintang astrologi Angka-angka komputer, eksperimen dan presisi teknologi! Dan di sini, orang bergulat melawan anti-logika masih Masalah empat-kebebasan, masalah kurangnya proteina Elektrifikasi dan cetak biru yang sia-sia Seseorang berjalan, lalu puluhan berjalan, ribuan Di bawah langit terik lagi, kecemasan lagi Di antara lontaran cakram-cakram api Seperti sebagian gelombang lama, pelahan meninggi Membentur seberang sana. Berhenti Dan berteriak: Hei kau-kau yang di sana! Kalian! Hei… kau
Ya: kau! Dan tiba-tiba semua terdiam. Terdiam. Hanya terdiam Di Jakarta yang tua, Jakarta yang Betawi Jakarta yang Ciliwung Ketika dari Buitenzorg bergerak kereta-kencana ke utara Dengan dua belas kuda putih sang Gubernur Dalam derap-dua di jalan tanah Tanah dijarah, bumi yang dijajah Sekian kali, sekian lama, oleh sekian orang Orang asing dan beberapa pribumi Di Jakarta sini, ya, Jakarta yang Betawi Jakarta yang Rijswijk, yang Meester, yang asli Betawi Jakarta yang Empat Serangkai, yang Saiko Sikikan Kakka Jakarta yang tugu, yang syauvinis, yang maksiat Tapi semuanya Tapi semuanya Jakarta yang Ciliwung Jakarta yang Ciliwung Mengalirlah kau Ciliwung, mengalirlah tenang Mengalirlah lamban dengan kepekaan dan kecoklatanmu Bersama lempung, bersama ampas, bersama sampah Bersama sejarah Dan malam ini kau surut, malu pada bulan di atas Gusar pada benda angkasa yang membusur pelahan Menyusur hasil-akhir perhitungan kosmografi Sementara kau belum sempat-sempat membersihkan diri Masalah saniter, perencanaan kota dan semacamnya Dan di atas kau jembatan, lintas kawat dan flamboyan Gugus-gugus bunga merah yang semakin rendah Gugur ke sungai, gugur, hanyut dalam spiral Bayang-bayang yang coklat Bayang-bayang yang bergoyang Perempuan mencuci Anak telanjang yang mandi Burung layang-layang melayang Dalam senja hilang bayang-bayang Di belakang barikade yang panjang Kawat duri bersilang Dinding sungai yang curam Rumah-jaga terdiam Karaben bersangkur
terhunjam.
1966
Karya:
~Taufiq Ismail~
Benteng
- Judul : Rijswijk 17
- Dikirim : Unknown
- Karya : Taufiq Ismail Taufiq Ismail - Benteng
-
Rating : 100% based on 10 ratings. 5 user reviews.
Item Reviewed: Rijswijk 17
9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
0 komentar
Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^