22 Tahun Kemudian

Ya anakku. Saya telah menuliskannya untukmu 22 tahun yang lalu saya tuliskan ini untuk kalian Ayahmu, waktu itu, pada suatu musim hujan Ketika itu tanpa kerja-tetap dan gelandangan Di sebuah kamar yang pengap di ibukota Duduk dan mencoba mencatat sajak ini

Ayah harus menuliskan ini. Harus Walaupun saya belum tahu, apakah saya Kelak akan mempunyai seorang Dayat Dan seorang Ina yang bermata-jeli Atau tidak punya anak sama sekali Tapi saya harus menuliskan ini. Harus.

(Di luar jam malam telah jatuh Ada catatan-catatan kecil di atas meja Derai-derai gerimis mulai meluruh Di antara deru patroli kota)

Apakah yang pertama harus dituliskan Bila begitu banyak yang tiada terucapkan? Di atas meja, catatan-catatan kecil kawanku yang setia Menggapai-gapai dalam angin dari jendela

Dari tingkap, menjulur piramid dan tugu-tugu Kota slogan dan menara, kotamu dulu Tanah gunung-api dan hama, tanahmu dulu Pedesaan yang malang, kuli-kuli pelabuhan yang tersemu Dalam pidato-pidato seribu jam dari seribu mimbar Dalam pawai-pawai genderang dan slogan berkibar-kibar Bertuliskan sepatah kata: Tirani Ya anakku. Tirani dengan t besar Kenistaan dengan panjinya tinggi 22 tahun yang lalu. Sungguh tak terpikirkan Bagi kalian saat ini Terbayangkan, apa pula Nyeri perjuangan yang dinistakan

(Di luar jam malam telah jauh Saya lanjutkan catatan-catatan ini buat kalian Ketika tetesan embun mulai jatuh Tanpa suara, perlahan-lahan)

Berpikir ganda. Apa yang diucapkan Berlawan dengan suara hati Rencana-rencana besar, kemewahan dan perempuan Dipersanjungkan dalam pesta-pesta ingkar insani Pengejaran, penahanan tanpa pengadilan Penindasan dan perang saudara Berbunuh-bunuhan (Hadirin diminta berdiri, karena akan masuk ruangan: Penjilat-penjilat dan pelayan-pelayan besar) Keangkuhan disebar bagai api hutan terbakar Di atas tanah yang dibelah-belah dan diadu sesamanya! (Arwah lelaki itu tersenyum, Machiavelli namanya) Berjuta-juta kami berdiri. Lesu dan lunglai Sehabis rapat besar dan pawai-pawai Yang tidak memikirkan pemborosan dan wabah penyakit Tidak membicarakan harga-harga dan nestapa kemiskinan

Pemborosan? Siapa peduli itu Harga? Harga apa? Apa harga diri kau? Hafalkan singkatan-singkatan ini. Berteriaklah Dengan dengki dan acungkan tangan terkepal Tengadahlah. Pandang panji-panji ini “Hormati!” Bertuliskan sepatah kata: Tirani Ya anakku. Tirani dengan t besar Bagi kalian saat ini, sungguh tak terpikirkan Tapi apa yang kau nikmati hari ini Kebebasan. Kebebasan dengan k besar Nikmatilah, nikmatilah. Dan ia Bukanlah jatuh dan awan gemawan Tapi ia lahir dari duka perjuangan Ia lahir melalui cercaan nista Melalui kertas-kertas stensil dari tangan ke tangan Melalui tembok-tembok kota yang sabar Dilumuri seribu kaleng cat Rapat-rapat serta seribu isyarat Di bawah ancaman laras kekuasaan Yang dibidikkan ke tengkukmu Ia lahir dari teriakan-teriakan mahasiswa Dalam pawai-pawai perkasa Sungguh tak terpikirkan Bila kita tidak bersama Tuhan Bagi kalian sungguh tak terpikirkan kini Juga bagi ayah (22 tahun yang lalu), ketika Menuliskan sajak ini Di kamar yang sepi Sendiri

(Di luar jam malam hampir berakhir Sementara ayah sudahi catatan-catatan ini Ketika subuh dan fajar di langit mengalir Dan harus berkemas untuk berjalan lagi).



1966
Karya:
~Taufiq Ismail~
Tirani
no image
Item Reviewed: 22 Tahun Kemudian 9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
Emoticon? nyengir

Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^

Komentar Terbaru

Just load it!